Jangan Membeli Pemilih
Pemilu legislatif tidak berapa lama lagi akan digelar di seluruh tanah air. Sejak minggu lalu kampanye resmi telah dimulai. Hampir semua pohon, tiang listrik dan telepon di jalan-jalan protokol dihiasi wajah-wajah caleg dengan senyum yang menawan, ramah dan penuh simpati. Seakan-akan apabila terpilih nanti mereka akan berjuang habis-habisan membela rakyat dan memberdayakan kita menuju keluarga sejahtera, dunia dan akherat.
Di masa Orde Baru caleg-caleg untuk keanggotaan legislatif adalah kader-kader Partai yang dibina secara sistematis melalui pengalaman panjang dari ranting, cabang dan hirarki partai dari akar rumput. Para kader itu umumnya baru diangkat menjadi caleg ketika pengalaman dan kariernya dianggap memadai. Para kader dibina dan dipersiapkan partainya untuk berjuang membawakan visi, misi dan program-program untuk mengantar seluruh anak bangsa menjadi masyarakat yang adil dan makmur.
Selama bertahun-tahun kader itu diberdayakan menjadi politikus ulung dengan ujian dan pengalaman bertumpuk. Mereka terjun dalam perjuangan dengan track record yang dapat diandalkan. Pengalaman lapangannya matang dan umumnya siap menjadi politikus ulung menghadapi berbagai pertanyaan yang membakar. Ketika kita melihat wajah-wajah yang terpampang mempesona dewasa ini, sering dibuat terkejut melihat wajah-wajah yang “ujug-ujug” tersenyum meminta dicontreng, karena tahu yang bersangkutan tidak menyiapkan diri atau disiapkan menjadi politikus.
Disamping kader yang dipersiapkan menjadi politikus melalui pendadaran dari jalur partai di akar rumput, ada pula politikus yang tidak saja berpengalaman dalam bidang legislasi, tetapi keluar masuk dalam berbagai tugas kenegaraan sebagai legislator, eksekutor, bahkan ikut berjuang di medan laga sebagai prajurit yang dengan tekun dan pengorbanan tinggi membela bangsanya, kalau perlu dengan darah dan nyawanya.
Setelah ditulusuri, tentu masih perlu dibuktikan, wajah yang “ujug-ujug” tersebut sebagian adalah anak muda yang setelah menyelesaikan pendidikan pada perguruan tinggi, meraih gelar sarjana, sukar memperoleh pekerjaan untuk menjamin masa depan keluarganya. Dengan perhitungan yang rasional dan matang, termasuk memperhitungkan biaya untuk mengurus kelengkapan administrasi, biaya kampanye, biaya urusan lain-lainnya, dengan mantab mendaftarkan diri menjadi caleg dari salah satu partai politik yang sebagian sukar memperoleh caleg yang berkualitas. Dengan berbekal ijazah sarjana, relatif mudah menjadi salah satu caleg dari partai yang memperoleh kesulitan itu. Karena motivasinya memperoleh pekerjaan, maka persiapannya menjadi politikus yang berbobot lebih rendah dibandingkan motivasinya untuk mencari kerja yang menjamin masa depan keluarganya.
Menurut cerita, ada pula caleg yang dimasa lalu biasa menjadi sponsor berbagai partai politik karena kepentingan dagang atau kepentingan lain untuk kelompoknya. Karena sistem demokrasi yang lebih terbuka dewasa ini, syarat menjadi caleg makin sederhana, tidak harus menjadi kader partai dengan dedikasi bertahun-tahun, seseorang yang baru saja masuk dalam lingkungan partai bisa langsung menjadi caleg dengan nomor urut “jadi”, atau nomor urut bernomor kecil.
Begitu menjadi caleg, dana yang biasanya disumbangkan kepada pengurus partai atau partainya, dimanfaatkan mencetak gambar wajahnya yang tersenyum manis untuk menarik simpati. Caleg seperti ini hampir pasti mempunyai perhitungan sendiri andaikan nanti terpilih menjadi anggota dewan, dimanapun tempatnya. Apapun alasannya, dalam hati kecilnya para pemilih akan berkata, jangan beli aku untuk memilihmu. (Prof. Dr. Haryono Suyono, http://www.haryono.com).
Belum ada komentar.
Tinggalkan Balasan